Kau tidak akan pernah tahu kapan maut akan menjemputmu, sampai dia
datang, kau hanya akan melihat kematian itu menimpa orang lain, dan
bukan dirimu, sampai waktu itu datang, kau hanya bisa melihat bentuknya
pada orang lain bukan pada dirimu, ntah itu berupa kecelakaan, penyakit
atau apapun itu. Kau tidak pernah sadar sepenuhnya bahwa kematian
senantiasa dekat denganmu, karena jika kau sadar, maka sebenarnya tidak
akan ada lagi bentuk-bentuk penyia-nyiaan waktu yang terjadi, karena
jika kau percaya sepenuhnya tentang kematian, maka tidak akan ada lagi
bentuk keterabaian dari kegiatan berbekal. Astagfirullah… betapa dangkal
ternyata keimananmu…
Karena jika kita tahu waktu kematian kita, secara otomatis sebuah
sistem kesadaran kita akan berhimpun membentuk sebuah rasa takut dan
was-was hingga akhirnya waktu yang tersisa akan dipergunakan dengan
sebaik-baiknya. Atau jika kita pun tahu waktu kematian orang-orang dekat
kita, maka bisa jadi kesadaran kita akan membuat kita berkeinginan
untuk melakukan yang terbaik untuknya.
Hati ini tergetar dan bahkan sekujur tubuh merinding ketika mendengar
kabar seorang karyawati kantor yang sangat baik hati, lembut, dan baik
perangainya wafat pada hari di mana hari sebelumnya aku masih bersua
dengannya, masih melihat keteduhan wajahnya. Tidak terlintas sama sekali
bahwa besok beliau akan pergi, dijemput maut menghadap Allah sang
pencipta. Padahal pemikiran kematian harusnya senantiasa berada dalam
pikiran kita karena bisa jadi hal seperti itu akan menimpa kita. Agak
merinding, karena seanjang hari aku terbayang wajahnya, setengah tidak
percaya, bahwa sosok Mba Retno itu kini telah tiada..
Banyak hal yang terpikir dari kejadian ini.. perasaan kehilangan,
perasaan memikirkan diri sendiri, aku masih tidak tahu dengan cara
bagaimana aku dijemput, dan sekarang masih dengan santainya menghadapi
dunia.. Astagfirullah. Aku sedikit terpikir, bagaimana jika aku wafat
nanti? Bagaimana dengan kedua orang tuaku? Akankah aku pergi dengan
meninggalkan perasaan yang baik di hati orang-orang? Atau justru
sebaliknya? Argh.. ini membuatku bertekad sepenuh hati untuk jadi orang
baik sampai aku wafat nanti.
Dari apa yang terjadi selama ini, aku merasa aku belum sepenuhnya
menunaikan hak persaudaraan dengannya. Ada rasa penyesalan, harusnya aku
bisa lebih baik kepadanya.. perasaan kehilangan ini ternyata cukup
membuat kepalaku berpikir jernih untuk memikirkan kehidupanku sendiri.
Perasaan kehilangan ini mungkin dibandingkan rasa kehilangan terhadap
Pak Ntah, Dafa, dan Nenek mungkin tidak sama. Hanya saja, kondisiku yang
sudah semakin dewasa ini membuatku lebih banyak berpikir daripada
sekedar terisak. Dan sepanjang sejarah kehidupanku, kehilangan yang
membuatku begitu terpukul adalah kehilangan nenekku ketika aku masih
kelas 3 SD, kehilangan Dafa, ponakan kecil tersayang dan guruku tercinta
Pak Ntah ketika kuliah. Dan alhamdulillah, aku belum mengalami rasa
sakit kehilangan yang lebih besar. Hatiku berdebar, ada rasa syukur
mengalir dalam aliran nadiku menyadari masih banyak orang yang kucintai
berdiri di sampingku meski aku tak tahu sampai kapan, Kedua orang tuaku,
segenap keluarga besar termasuk ponakan-ponakan kecil yang begitu
mewarnai hidupku, saudara-saudariku di jalan Allah yang masih senantiasa
menemani perjalananku, meski kutahu jarak memisahkan, tapi ketertautan
hati yang kuharapkan pada Allah senantiasa menghubungkanku dengan
mereka, belum lagi keluarga besar BPPT yang kini senantiasa mengisi
hari-hariku, dan Mba Retno adalah salah satu di dalamnya.
Satu hal besar yang menjadi lintasan pikiranku adalah Allah masih
berkenan memberikanku kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka,
merasakan kasih sayang dan persaudaraan yang tiada tara besarnya..
sampai waktu yang aku tidak tahu. Waktu yang akan memisahkan kami,
mungkin aku lebih dahulu atau justru mereka lebih dahulu… ada limit
waktu yang sangat jelas bagi setiap manusia. Dan itu pasti terjadi, tak
ada serorang manusia pun bisa menolak takdir kematian, maka dari itu,
sebelum semua berujung pada kematian yang mudah-mudahan Allah berkenan
memberikannya dalam kondisi terbaik keimanan kita, maka berbuatlah yang
terbaik untuk dirimu dan orang-orang yang kau sayangi… berbuatlah yang
terbaik untuk bekal kehidupan setelah kematianmu, dan orang-orang yang
berarti bagimu. Karena kau akan menyesal, ketika waktunya datang, dan
selang waktu yang ada kau sia-siakan…jagalah kesehatanmu, bukan sebuah
wujud takut kematian, melainkan sebagai sebuah bentuk rasa syukur atas
anugerah kehidupan yang masih diberikan sekaligus menjadi ajang beramal
dan berbekal yang terbaik.
Allah Maha Besar, tiada kejadian tanpa hikmah. Kejadian wafatnya Mba
Retno yang cukup mendadak karena sakit itu membuat kepalaku berpikir
seharian bahkan sampai malam menjelang, ku menyadari betapa dhoifnya
diri ini, betapa bodohnya aku ketika menyadari sampai detik ini
nampaknya bekal yang kukumpulkan untuk menghadapi kehidupan setelah
kematian, belumlah seberapa. Masih banyak kesiaan dan kesalahan yang
mengiringi hari-hariku, astagfirullahal ‘adziim, Allah Maha Penerima
Taubat. Seketika pengingatan kematian menyebar di seluruh neuron otakku,
dan menyerang alam sadarku, kutahu yang sekarang harus kulakukan adalah
melihat masa yang tersisa untukku yang ntah kapan, kutak tahu. Tapi
yang jelas,, mudah-mudahan aku menjadi lebih baik dan lebih baik lagi
setelah ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar